Senin, 13 Februari 2012

MENENGOK REFORMASI BIROKRASI DI TIGA NEGERI TETANGGA




MENENGOK REFORMASI BIROKRASI DI TIGA NEGERI TETANGGA

 “Administrative reform is not only desirable, it is absolutely imperative” (Toshiwo Doko) 
   
A.    Pendahuluan

Reformasi mempunyai makna perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.[1] Reformasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1998, segala hal tentang birokrasi termasuk yang didengungkan untuk direformasi. Hal ini tidak terlepas dari tuntutan masyarakat Indonesia akan terciptanya tatanan pemerintahan yang lebih baik dalam kerangka Good and Clean Government. Reformasi birokrasi menjadi salah satu dari agenda reformasi secara menyeluruh. Reformasi birokrasi diharapkan menjadi salah satu unsur atau modal untuk menatap Indonesia yang lebih baik, bermartabat, dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera (Mustopadidjaja, 2003).
Reformasi birokrasi secara luas dapat diartikan sebagai proses menata ulang, mengubah, memperbaiki, dan menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih baik, profesional, efisien, efektif, dan produktif sehingga terwujud sistem atau tata kelola birokrasi yang lebih baik dengan inti utama adalah perubahan perilaku.[2] Namun tak kurang pula jika reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini.
 Belakangan ini, reformasi birokrasi dirasakan tidak semudah membalikan telapak tangan tanpa kerja keras semua komponen bangsa termasuk para birokrat itu sendiri. Reformasi birokrasi bukan hanya sekadar permasalahan peningkatan pendapatan atau remunerasi birokrat semata, namun lebih jauh dari itu yaitu perubahan sikap mental dari yang dilayani menjadi pelayan profesional sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Kasus Gayus menjadi bukti bahwa reformasi birokrasi belum menyentuh kepada perubahan sikap mental dan pilar-pilar dalam reformasi birokrasi itu sendiri.
Namun, perlu disadari bahwa reformasi birokrasi merupakan sebuah proses dan bukanlah sebuah tujuan akhir. Seperti halnya kesuksesan, kesuksesan bukan merupakan tujuan, melainkan sebuah perjalanan. Perjalanan itupun memerlukan waktu dan tidak langsung ber “sim-salabim” langsung jadi melainkan butuh kekonsistensian. Disamping itu, kita perlu juga belajar dari pengalaman bangsa lain untuk kita jadikan pembelajaran untuk mencapai tujuan reformasi yang kita idamkan. Beberapa negara yang berhasil dalam pelaksanaan reformasi birokrasinya antara lain Korea Selatan, Cina, dan Singapura.
Artikel ini akan mengupas sedikit gambaran umum reformasi birokrasi di ketiga negara tersebut. Ketiga negara tersebut tidak serta merta instan berhasil dalam mencapai reformasi birokrasi yang menentukan untuk pencapaian kemajuan negara, melainkan membutuhkan waktu, komitmen, dan national leadership.




B.    Implementasi Reformasi Birokrasi di Tiga (3) Negara

1.     Korea Selatan
Negeri "Ginseng” Korea Selatan yang kita saksikan sekarang sebagai salah satu macan Asia tidak seinstan dalam mendapatkan hasil yang gemilang dalam perekonomian. Negara ini menjadi negara industri maju di Asia juga tidak terlepaskan dari keberhasilan reformasi administrasi yang dilakukan sejak tahun 1980 sampai sekarang. Dimulai dari Presiden kelima Chun Doo Wan meletakkan sejumlah pilar reformasi administrasi melalui Civil Servants Ethics Act, Social Purification Movement, Civil Servant Consciousness Reform Movement, Retired Civil Servant Employment Control, Civil Servant Property Registration dan Civil Servant Gifts Control (Hwang, 2004).  Dilanjutkan pada masa pemerintahan Rho Tae Woo (1988-1993) dengan melakukan deregulasi dan simplikasi, restrukturisasi pemerintah pusat, memperkuat komisi reformasi administrasi, dan keterbukaan informasi publik pada masa pemerintahan Kim Young Sam (1993-1998) dengan membentuk lembaga-lembaga khusus yang dibentuk untuk meneliti, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan reformasi administrasi Presidential Administrative Renovation Commission dan menciptakan pemerintahan yang bersih, ramping, tetapi kuat, demokratis, efisien, dan dekat dengan masyarakat melalui reformasi terhadap prosedur administrasi pemerintahan. Masa Pemerintahan Presiden Kim Dae Jung (1998-2003), reformasi administrasi di Korea Selatan Selatan terus berlanjut dengan melakukan restrukturisasi pemerintah pusat; memangkas 16 kantor, 74 biro, 136 departemen, dan 146 komisi pemerintah. Sebanyak 16% pegawai negeri dipangkas sampai 2001.
Presiden kesembilan, Rho Moo Hyun sejak 2003 memfokuskan reformasi administrasi pada participatory government dengan membentuk mesin Reform The Presidential Committee on Government Innvovation and Decentralization. Pada tahapan terakhir, reformasi administrasi dilakukan dengan meningkatkan otonomi pemerintahan daerah dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik (e-government).
Semua usaha dari para Presiden Korea Selatan untuk merevitalisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, hasil cukup signifikan dalam efisiensi dan terciptanya administrasi negara yang profesional, bersih, dan berwibawa. Padahal jenjang estafet peralihan pemerintahan dari presiden satu ke yang lain tidaklah mulus tetapi dipenuhi kudeta dan demonstransi.[3]
2.     Republik Rakyat Cina (RRC)

RRC yang disebut juga dengan China dalam dasawarsa ini telah mencapai peningkatan ekonomi yang sangat pesat. Bagaimanakah China dapat mencapai hal yang demikian fantastis? Tentu kita dapat menengok sedikit ke belakang tentang sejarah perkembangan dari China, siapa saja tokoh yang membawa arah China hingga sedemikian hebatnya. Adalah Deng Xiaoping yang pada tahun 1982 memproklamasikan reformasi administrasi sebagai tulang punggung kemajuan bangsa China. Dalam pidatonya di depan kongres nasional Partai Komunis 1982 Deng menyatakan "Streamlining organization is a matter of great importance. In fact, it constitutes a revolution. If we fail to carry out this revolution, if we let the present over-staffed and overlapping party and state organization stay as they are without clearly defined duties and with many incompetent, irresponsible, lethargic, undereducated, and ineffiecient staff member, we ourselves will not be satiefied and we will not have the support of lower cadre, much less of the people" (Prasojo, 2008). salah satu inti dari pernyataannya tersebut adalah pembenahan birokrasi menjadi teramat penting sebagai bagian dari revolusi dan jika pemerintahan Cina gagal menjalankannya maka bangsa Cina tidak akan puas dan tidak akan mendapatkan dukungan dari seluruh rakyat.  dalam sejarah, Deng tidak setenar Mao[4] yang revolusioner. Mao berhasil mempersatukan Cina kemudian menghancurkan Cina, dan Deng inilah yang membangun Cina. Dalam kata-kata Bonavia[5]: "Mao adalah seorang ahli gusur, sedang Deng adalah seorang arsitek." 
Retorika Deng Xiaoping pada tahun 1982 tidak hanya sekadar pidato tanpa makna, terbukti diwujudkan dalam kenyataan. Salah satu bentuk wujud implementasinya adalah pada tahun  1983, jumlah kementerian, departemen, dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya dipangkas dari 100 lembaga menjadi hanya 61 buah. Bahkan sebanyak 30.000 kader partai yang aktif dalam birokrasi dipensiunkan dini. Hal ini dilakukan Deng untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang pada awalnya adalah adanya ketidakjelasan tugas birokrasi, tidak berkompeten, tidak efisien, tidak cepat tanggap (irresponsible), SDM-nya pemalas (lethargic) dan tidak berpendidikan, hal tersebut diubah menjadi lebih baik atau dengan kata lain tujuan reformasi birokrasi di China adalah mengubah fungsi pemerintah dan membuat struktur administrasi lebih responsif dalam pembangunan ekonomi. Penekanan reformasi birokrasi di China adalah pemerintahan yang efisien melalui restrukturisasi serta depolitisasi birokrasi dan karier administrasi dari kepentingan politik (Prasojo, 2008). Dukungan peraturan, ketatnya implementasi aturan, serta kejelasan reward and punishment yang dijalankan secara konsisten adalah berbagai bentuk terwujudnya reformasi birokrasi di Cina.
Dampak reformasi birokrasi China terhadap ekonominya terlihat pada akhir dasawarsa 90-an hingga sekarang, dimana China menjadi salah satu negara yang dapat mengimbangi negara adidaya Amerika Serikat dalam berbagai sektor bahkan lebih. Hal ini juga berarti bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan dengan konsisten oleh Cina berbuah manis walaupun tidak dalam waktu singkat, sejak proklamasi Deng 1982 dikumandangkan, China bangkit menjadi China yang modern.

3.     Singapura
Singapore remained the best with a rating of 2.25, followed by Hong Kong (3.53), Thailand (5.25) Taiwan (5.57), Japan (5.77), South Korea (5.87) and Malaysia (5.89).”[6] Singapura kembali lagi dinobatkan menjadi salah satu negara terbaik bagi birokrasi dalam hal efisiensi, pelayanan masyarakat, dan iklim investasi (hasil survey  Political & Economic Risk Consultancy (PERC) 2012). Tidak hanya itu. Singapura juga menjadi contoh yang baik dalam hal disiplin aparat birokrasi dan penerapan ’’reward and punishment’’ bagi pegawainya.[7] Padahal pada tahun 1959 ketika Lee Kuan Yew diangkat sebagai Perdana Menteri, Singapura yang memiliki luas wilayah hanya 400 km persegi sedang dalam kondisi carut marut dengan pengangguran mencapai 14%. Saat itu tak ada yang dapat diperbuat, kecuali bangkit agar Negeri “Singa” itu mampu menjadi negara yang makmur.[8]
Di Singapura, birokrasi tampil begitu inovatif[9]. Birokrasi hadir dengan semangat melayani, inisiatif tinggi, efisiensi atas sumber daya, peningkatan gaji atau bonus berbasis kinerja, berorientasi pada kepuasan pelanggan[10] (baca: masyarakat), dan pembaharuan terus-menerus terhadap cara dan hasil kerja, khas entrepreneur.[11] Sangat berbeda wajah implementasi birokrasinya dengan yang ada di Indonesia.
Pemerintah Singapura juga memberlakukan sistem penggajian model perusahaan.[12] Pemerintah Singapura memiliki patokan untuk menentukan gaji eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur bagi pemerintah dalam menentukan gaji. Ketika kondisi ekonomi sedang memburuk, pemerintah memotong gaji pegawai negeri sesuai kemampuan keuangan negara pada saat itu, termasuk gaji perdana menterinya[13]. Ketika kondisi ekonomi membaik dan pertumbuhan ekonomi meningkat, Singapura memberikan bonus gaji tambahan[14].  Baru-baru ini, Singapura menerapkan bonus ’’pertumbuhan’’ yang diberlakukan terhadap individu. Yakni bonus untuk karyawan yang giat dan berprestasi. Hal yang patut dicontoh oleh pemerintah Indonesia.
 Sejatinya reformasi birokrasi di Singapura telah berlangsung lama, sejak tahun 1980-an. Dan mereka mempunyai konsep desain yang jelas, berkelanjutan dan konsisten. Berikut gambaran reformasi birokrasi di Singapura[15]:
Awal tahun 1980an
Penganggaran berbasis kinerja diperkenalkan
Pertengahan tahun 1980an
Management Accounting dan Penetapan biaya berbasis aktivitas (activity-based costing) dalam kegiatan pemerintah diterapkan
Akhir tahun 1980an
KPI (Key Performance Indikator) sudah dipakai dan dijabarkan dengan jelas sebagi pedoman kualitatif maupun kuantitatif.
Awal pertengahan tahun 1990an
Gaji PNS diukur/berpedoman pada gaji tertinggi sektor swasta
Tahun 1990an
Sistem korporasi mulai dijalankan dalam pemerintahan
pertengahan tahun 1990an
PS 21 (Public service for the 21th Century) digulirkan

Tak disangka-sangka, Singapura yang tidak punya apa-apa, kini menjadi salah satu negara terkaya di dunia dengan Gross Domestic Product (GDP)[16] pendapatan per kapita $59,936 per tahun. Sukses pembangunannya adalah dengan rumusan strategi pembangunan ekonomi global berorientasi keunggulan daya saing dan produktivitas lewat birokrasi pemerintahan yang bersih dan efisien, masyarakat yang disiplin, dan industrialisasi yang dikawal tenaga-tenaga profesional.
Keseluruhan agenda setting reformasi administrasi sebagai reformasi birokrasi yang terjadi di Korea Selatan, RRC, dan Singapura menunjukkan bahwa transformasi menuju negara maju sangat ditentukan oleh komitmen dan kompetensi untuk melakukan reformasi birokasi. Bahkan reformasi birokrasi merupakan salah satu prasyarat keberhasilan transformasi tersebut.

C.    Penutup

    Pengalaman ketiga negara tersebut menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan sistem penyelenggaraan pemerintahan sebagai perwakilan dari negara yang harus efektif, efisien, dan menjadi tulang punggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam terciptanya good governance.
  Belajar dari ketiga negara tersebut juga bahwa reformasi birokrasi sangat bergantung pada adanya komitmen dan national leadership. Reformasi birokrasi bukan hanya perubahan struktur dan reposisi birokrasi. Reformasi birokrasi harus meliputi perubahan sistem politik dan hukum secara menyeluruh, perubahan sikap mental, dan budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan mindset dan komitmen pemerintah serta parta politik.
  Mengutip pernyataan dari Eko Prasojo, seorang Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, reformasi administrasi/birokrasi di Indonesia dapat dimulai dengan merestrukturisasi lembaga dan merevitalisasi pegawai negeri, mendekoptasi birokrasi dan BUMN dari kepentingan politik, dan memutuskan mata rantai relasi kolusif antara politisi, birokrat, dan pebisnis. Jabatan-jabatan dalam birokrasi harus diisi oleh orang-orang yang handal melalui proses yang terbuka dan kompetitif. Dengan cara itu dapat dihindarkan kekhawatiran Mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan "Government was not the solution, but the problem".  Mampukah Indonesia dapat mewujudkan itu semua dan menyusul ketiga negara walaupun “late” dalam melakukan reformasi birokrasi? 






Pustaka :
1.    Brodjonegoro, Bambang P.S. (2008), “Jalan Terjal Reformasi Birokrasi”. Seputar Indonesia, 9 Juni 2008.
2.    Hwang, Yunwon, 2004, “Reform: Concepts, Theories, and Issues in Korea” paper presented in International Seminar: Indonesia: Challenges in the 21st Century Civil Society, Administrative Culture and Governance Issues, Jakarta.
3.    Prasojo, Eko. (2008), “Reformasi Birokrasi : The Ir-Reformable?”. Media Indonesia, 28 Agustus 2008. (http://admsci.ui.ac.id/?PID=7052009042008&act=detpublication)
4.    Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
5.    Mustopadidjaja, Prof. Dr. (2003). “Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN”. Makalah yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Nasional VIII dengan tema : Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar, 14-18 Juli 2003.





[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 2008), h. 1279.

[2] Seminar Reformasi Birokrasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Indonesia tanggal 3 Desember 2008.

[4] Mao Tse Tung (Mao Zedong) adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri negara Republik Rakyat Cina.

[5] David Bonavia adalah wartawan Far Eastern Economic Review yang ahli dalam urusan Cina, penulis Biografi “Deng”.

[7]Hal ini juga membuat Wakil Presiden Budiono tertarik dengan pelaksanaan reformasi birokrasi di Singapura, terutama untuk merekrut orang-orang terbaik dalam pemerintahan. "Singapura memang kecil, sistem pemerintahannya juga lebih kecil. Tetapi ada yang bisa dipelajari dari Singapura," kata Boediono seperti dikutip juru bicara Wapres Yopie Hidayat di Jakarta, Kamis (9/12/2010). (http://berita.liputan6.com/read/310591/Indonesia.Pelajari.Reformasi.Birokrasi.di.Singapura) diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 pukul 19.06 WIB

[8]http://www.haluankepri.com/opini-/16029-membangun-pemerintahan-yang-bersih.html diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 pukul 19.33 WIB

[9]Birokrasi inovatif adalah  ide tentang penerapan prinsip-prinsip entrepreneur dan ke-organisasianmodern dalam struktur dan kultur birokrasi. Lebih jelasnya lihat Elexender Styhre, The Innovative Bureaucracy: Bureaucracy in The Age of Fluidity, (New York: Routledge, 2007).

[10]Wakil Presiden Budiono meminta birokrasi Indonesia meniru Singapura, beliau mengatakan “PM Lee mengatakan kalau seorang dokter tidak kompeten, dampaknya yang meninggal dunia adalah seorang pasien. Kalau direktur perusahaan tidak kompeten, dampaknya perusahaan bangkrut. Namun jika pejabat negara tidak kompeten yang menanggung adalah masyarakat yang banyak sekali,” (http://www.beritasatu.com/mobile/nasional/26862-wapres-indonesia-minta-birokrasi-tiru-singapura.html) diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 pukul 19.40 WIB.


[13]Gaji seorang Perdana Menteri di Singapura mancapai 3,04 juta dolar Singapura (sekitar Rp 20,9 miliar), tertinggi di dunia. Skema gaji para menteri setahun berkisar 1,75 juta dollar Singapura (Rp 12 M). Sementara seorang menteri yunior mendapat gaji 1 juta dollar Singapura (Rp 6,8 miliar) per tahun. Gaji PNS Singapura yang baru masuk terendah mencapai $ingapore 2.350 atau sekitar Rp 16,4 Juta. (http://setagu.net/opini/gaji-pejabat-dan-pns-di-singapura) diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 pukul 19.51.

[16] http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_GDP_(PPP)_per_capita diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 pukul 20.12 WIB


0 komentar:

Posting Komentar